Menurut Syaikh al-Utsaimin: menurut bahasa, haid berarti sesuatu
yang mengalir. Dan menurut istilah syara’ ialah darah yang terjadi pada
wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu.
Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit,
luka, keguguran, atau kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah
tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan, dan iklimnya, sehingga
terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita. (Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, Makna Haid dan Hikmahnya)
Mungkin sebagian dari kita masih sering bingung apakah wanita yang
sedang haid boleh menyentuh atau membaca Al Qur’an atau tidak. Untuk
itu, disini UKHTI coba menghadirkan beberapa referensi yang InsyaAllah
bermanfaat.
Orang yang berhadast (hadast besar atau hadast kecil) tidak boleh
menyentuh mushaf seluruh atau sebagiannya. Inilah pendapat para ulama
empat madzhab. Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala
“dan (ini) sesungguhnya Al Qur’an yang sangat mulia, dalam kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuz), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (Q.S. Al Waqi’ah: 77-79)
“dan (ini) sesungguhnya Al Qur’an yang sangat mulia, dalam kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuz), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (Q.S. Al Waqi’ah: 77-79)
Yang dimaksud menyentuh mushaf menurut mayoritas ulama adalah
menyentuhnya dengan bagian dalam telapak tangan maupun bagian tubuh
lainnya (lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13965, periksa index “Mushaf”, point 5)
Ibnu Jauzi mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat tentang yang
dimaksud dengan orang-orang yang disucikan menjadi empat pendapat.
1. Mereka adalah orang-orang yang bersih dari hadast. Inilah pendapat mayoritas ulama.
2. Orang yang bersih dari syirik. Inilah pendapat ibnu As Sa-ib.
3. Orang yang bersih dari dosa dan kesalahan. Inilah pendapat Ar Robi’ bin Anas.
4. Makna ayat adalah tidak ada yang bisa merasakan nikmat Al Qur’an dan manfaatnya melainkan orang yang mengimani Al Qur’an. Adanya pendapat ini diceritakan oleh al Faro’.(Zaadul Masiir, 8/152, terbitan al Maktab al Islami)”
1. Mereka adalah orang-orang yang bersih dari hadast. Inilah pendapat mayoritas ulama.
2. Orang yang bersih dari syirik. Inilah pendapat ibnu As Sa-ib.
3. Orang yang bersih dari dosa dan kesalahan. Inilah pendapat Ar Robi’ bin Anas.
4. Makna ayat adalah tidak ada yang bisa merasakan nikmat Al Qur’an dan manfaatnya melainkan orang yang mengimani Al Qur’an. Adanya pendapat ini diceritakan oleh al Faro’.(Zaadul Masiir, 8/152, terbitan al Maktab al Islami)”
Jika yang disentuh adalah terjemahan Al Qur’an dalam bahasa non Arab,
maka itu tidak disebut Al Qur’an. Namun kitab atau buku seperti ini
disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena
itu tidak mengapa menyentuh Al Qur’an terjemahan seperti ini karena
hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13968. Periksa pada index “Mushaf”, point 11.) Akan
tetapi, jika isi Al Qur’annya lebih banyak atau sama banyaknya dari
kajian terjemahan, maka seharusnya tidak disentuh dalam keadaan
berhadast.
Bagaimana dengan membaca Al Qur’an? Para ulama empat madzhab sepakat
bolehnya membaca Al Qur’an bagi orang yang berhadast, baik hadast besar
maupun kecil, selama tidak menyentuhnya. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
“Diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al Qur’an
menurut pendapat ulama yang paling kuat. ALasannya karena tidak ada
dalil yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al Qur’an
tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al Qur’an. Kalau memang mau
menyentuh Al Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti
kain yang suci dan semacamnya (bisa juga dengan sarung tangan, pen). ” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10: 209-210)
Wallahu a’lam ^^
0 komentar:
Posting Komentar